Bahasa Indonesia adalah salah satu aset penting bangsa Indonesia yang
perlu dijaga kaidahnya. Kenapa? Karena Bahasa Indonesia merupakan
satu-satunya bahasa resmi yang membantu berbagai suku di Indonesia untuk
berkomunikasi secara baik (Mustakim, 1994 : 2). Namun Bahasa Indonesia
yang sajatinya menjadi penghubung suku bangsa, malah mengalami
intervensi yang luar biasa seiring perkembangan zaman.
Bahasa Sebagai Tolak Ukur Gaulnya Seseorang.
Smph PMd
prtm :
kaM ptR Dn ptr 1ndn5 mn6k3 BRt0mP4H dRh jN6 5t03, t4nh Ar 1ndn5
KD0 :
km P0tr4 dn p03tr1 1ndon35, mN64k brBngs jng sT, Bn65 1nDn3514
kT6 :
KAM Ptr dn p3tr 1ndNs M3n6j3nj0En6 bH54 pr5tn, BH45 1Ndn3514
Syukurlah tidak ada anak alay ketika perumusan sumpah pemuda, jika ada mungkin kalimat diatas akan muncul di teks sumpah pemuda.
Bahasa gaul atau yang populer di kalangan anak muda dengan sebutan
bahasa Alay (Anak Layangan), benar-benar sudah menjadi bahasa favorit
dikalangan anak muda ketimbang bahasa Indonesia itu sendiri. Kenapa?
Karena anak muda sekarang butuh sebuah pengakuan untuk disebut anak
gaul. Jadi tidak pakai bahasa alay maka tidak disebut anak gaul, dan
status sosial seseorang lah yang paling mempengaruhi penggunaan bahasa
itu sendiri (Meyerhofff, 2006:108). Dan karena pembiasan dalam
menggunakan bahasa alay-lah, maka bahasa ini makin populer dikalangan
anak muda ketimbang Bahasa Indonesia itu sendiri.
Media menjadi salah satu sarana penyebaran bahasa alay secara cepat,
sebut saja sinetron dan acara televisi lainnya, anak-anak muda di daerah
yang awalnya hanya tau menggunakan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah,
akhirnya terbawa arus juga untuk menggunakan bahasa alay bahkan
sarkasme. Jadi media yang sejatinya mampu mengedukasi generasi muda
dalam berbahasa malah menjadi sarana yang mengedukasi salah dalam
berbahasa. Pengguna bahasa gaul itu sendiri sudah merambah ke semua
umur, alasannya sederhana, agar terdengar santai dan bersahabat. Alasan
ini mungkin bisa diterima, mengingat Bahasa Indonesia itu sendiri
terdengar kaku dan formal bila digunakan untuk bercanda. Dan lagi
penggunaan Bahasa Indonesia yang bercampur kode dengan bahasa gaul,
prokem, slang, ataupun bahasa daerah selagi tidak dipakai dalam situasi
formal tidaklah perlu dirisaukan. Namun, yang menjadi kerisauan kalau
ragam formal bahasa Indonesia (baku) itu digunakan tidak sebagaimana
mestinya (Nababan, 1993). Terlepas dari itu semua, alangkah baiknya bila
kita lebih berperan aktif untuk berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik.
Bahasa Indonesia Itu Nasionalis dan Bahasa Asing Itu Modern?
Kami, the people of Indonesia, dengan ini menjatakan The Independence of Indonesia.
Hal-hal jang mengenai atau the transfer of power, d.l.l, diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja atau the shortest possible time.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama the people of Indonesia
Soekarno/Hatta.
Mungkin teks proklamasi akan terdengar seperti kalimat diatas bila
pak presiden SBY yang menyusun teks proklamasi kala itu, terdengar
modernkah atau malah terdengar seperti ucapan yang tidak memiliki rasa
nasionalis?
Tidak nasionalis bila cenderung menggunakan bahasa asing? Ini salah
satu kalimat yang sering terdengar, terutama warga Indonesia yang
memasukan kata-kata asing kedalam ucapannya sehingga akan terdengar
kebarat-baratan. Yang paling terkena dampak kalimat tersebut adalah
warga Indonesia yang menetap lama di luar negeri. Salahkah? Tidak ada
yang salah, kita pasti tau benar bahwa lingkungan/demografis merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi pola berbahasa seseorang (Meyerhoff,
2006:108). Lagi pula, bahasa merupakan kalimat verbal yang digunakan
untuk berkomunikasi dengan lingkungan, jadi mau tidak mau, suka atau
tidak suka, maka warga di luar negeri harus menggunakan bahasa setempat.
Tidak sampai disitu, fenomena dalam menggunkan bahasa asing ini juga
dipicu oleh kemodernisasian, sikap bangsa Indonesia terhadap Bahasa
Indonesia cenderung ambivalen, sehingga terjadi dilematis. Artinya, di
satu pihak kita menginginkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan
dapat mengikuti perkembangan zaman serta mampu merekam ilmu pengetahuan
dan teknologi global, tetapi di pihak lain kita telah melunturkan
identitas dan citra diri itu dengan lebih banyak mengapresiasi bahasa
asing sebagai lambang kemodernan (Warsiman, 2006:42-43). Atas dasar itu,
tidak heran jika para remaja masa kini lebih cenderung menggunakan
bahasa asing sebagai bagian dari hidupnya jika mereka tidak ingin
disebut ketinggalan zaman.
Keesksistensian Bahasa Indonesia itu sendiri, hendaknya mendapat
perhatian nyata dari institusi (Meyerhoff, 2006:108). Dan secara
teoritis, pemerintah Indonesia sangat mendukung vitalitas Bahasa
Indonesia (Vitalitas disini merujuk pada intensitas dan eksistensi
sebuah bahasa). Hal tersebut terbukti dengan diundangkannya UU No 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. UU ini juga kemudian disokong oleh Peraturan Presiden
16/2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden
dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya. Dan lagi,
Kementerian Perdagangan pun merilis Permendag No. 19/M-DAG/PER/5/2009
tentang Pendaftaran Petunjuk (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna
Jual dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Telematika dan Elektronika.
Permendag tersebut di samping melindungi hak linguistik pengguna produk
dalam dua jenis (telematika dan Elektronika) tersebut, juga membantu
meningkatkan vitalitas Bahasa Indonesia. Sayangnya, Permendag tersebut
belum mencakup semua produk impor.
Dalam konferensi pers atau pidato kenegaraan pun, bahasa presiden
seolah tak bisa lepas dari pengaruh bahasa asing. Di hari menyambut
kemerdekan RI ke 67 pun (16/08/2012), pidato SBY tetap saja menggunakan
bahasa asing sebagai pelengkap isi pidato, kata asing itu dapat kita
temukan dalam pidato SBY berikut:
“…Sebagai bentuk terima kasih kepada para founding fathers dan para pemimpin terdahulu, marilah kita terus bersatu dan bekerja lebih keras lagi…”.
Dan lagi,
“…terciptanya keamanan pangan dan energi, pembangunan infrastruktur, proteksi sosial, financial inclusion,…”
Atau ini,
“….Pro-Rakyat yang saya canangkan sejak awal, tetap didasarkan kepada empat pilar utama: pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment….“
Bahkan, penulis mencatat tak kurang dari 25 istilah dalam bahasa
asing yang digunakan SBY saat berpidato di HUT RI ke 67. Kebanyakan,
istilah asing yang digunakan oleh SBY sebelumnya diikuti dengan arti
dalam bahasa Indonesia. Ada implikasi dari sikap berbahasa demikian,
salah satunya adalah seolah SBY tidak yakin jika pesan yang hendak
disampaikannya tidak akan ‘terkirim’, tidak dipahami oleh khalayak jika
tidak melengkapinya dengan terjemahan bahasa asing. Jadi pemerintah yang
seharusnya melindungi Bahasa Indonesia, ternyata pemerintah juga lah
yang mencederai Bahasa Indonesia itu sendiri, ironis.
Lalu kenapa masih ada beberapa warga Indonesia yang masih malu bahkan
kurang paham penting nya berbahasa Indonesia? Fenomena ini memang
sering kita temui di negara kita sendiri tapi taukah kita akan fakta
menarik dari bahasa itu sendiri? Berikut fakta menarik Bahasa Indonesia:
1. Bahasa Indonesia menduduki peringkat 3 di Asia dan peringkat ke 26 di dunia dalam hal tata bahasa terumit di dunia.
2.
Bahasa Indonesia juga mendunia di dunia maya, buktinya wikipedia
berbahasa Indonesia telah menduduki peringkat 26 dari 250 wikipedia
berbahasa asing di dunia dan peringkat 3 di Asia setelah bahasa Jepang
dan Mandarin, selain itu Bahasa Indonesia menjadi bahasa ke 3 yang
paling banyak digunakan dalam postingan blog di wordpress.
3. Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kedua di vietnam sejak tahun 2007
4. Bahasa Indonesia masuk kedalam 10 besar bahasa yang paling diminati di seluruh dunia
Dari semua penjalasan diatas maka sebagai warga Indonesia, sudah
seharusnya kita merasa bangga berbahasa Indonesia dan menjaga kaidah
baku bahasa itu sendiri, agar tidak hilang oleh adanya perkembangan
zaman dan intervensi dari bahasa lain. Salah satunya dengan aktif dan
tepat dalam menggunakan Bahasa Indonesia itu sendiri, dan janganlah
Bahasa Indonesia itu menjadi bahasa sarkasme di generasi muda. Dan lagi,
Bahasa Indonesia yang memiliki peranan sebagai alat komunikasi (P.W.J.
Nababan, 1993 : 40), hendaknya masih mendapat perhatian serius dari kita
semua ditengah-tengah negara yang kaya akan suku bangsa. Kalau bukan
kita, lalu siapa lagi yang akan menjaga Bahasa Indoensia? Namun ingatlah
“Tidak ada satupun negara didunia ini yang monolingual secara murni”
(Meyerhoff, 2006:103).